Konflik Armenia-Azerbaijan: Pertarungan Kuasa di atas Eurasia

Faiz Kasyfilham
7 min readOct 3, 2020
https://cdn.dnaindia.com/sites/default/files/styles/full/public/2020/10/01/928457-armenia-azerbaijan-historical.jpg

Disaat dunia belum bisa sejenak ambil nafas dari estafet panjang pandemic corona, baru-baru ini kita justru dikagetkan dengan munculnya (kembali) pertempuran militer antara Azerbaijan dan Armenia. Sampai tulisan ini ditulis, sengketa wilayah antara dua negara Eurasia ini telah mengakibatkan puluhan korban jiwa dan lebih dari 100 orang terluka. Puluhan warga sipil bahkan dilaporkan meninggal akibat pertempuran antara kedua negara di kawasan sengketa Nagorno-Karabakh. Nahasnya, jika kita melihat konflik kedua negara ini sejak awal munculnya di tahun 1990an, maka akan kita temukan puluhan ribu orang telah tewas menjadi korban dan jutaan orang terpaksa mengungsi menghindari garis perang. Konflik ini bahkan semakin memanas karena pada akhirnya ikut melibatkan negara-negara tetangga seperti Rusia, Turki, Iran, bahkan negeri Paman Sam.

Inti peperangan ini adalah wilayah Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah dataran tinggi indah yang secara harfiah berarti “mountainous black garden”. Wilayah Nagorno-Karabakh merupakan kunci utama dalam selisih berkepanjangan antara Azerbaijan-Armenia. Wilayah sengketa ini secara hukum internasional pada dasarnya telah diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, tetapi secara de facto wilayah ini dikuasai oleh etnis Armenia. Secara umum, konflik identitas memang dapat dikatakan sebagai pemicu utama dari perang berkepanjangan ini. Ketika Uni Soviet masih berkuasa, wilayah Nagorno-Karabakh dialokasikan kepada Azerbaijan di tahun 1920an, meski etnis Armenia mendominasi wilayah ini. Keadaan ini pada awalnya bukan masalah yang signifikan karena pada masa itu Armenia dan Azerbaijan adalah bagian dari kekaisaran Soviet. Pada masa itu tidak jarang banyak orang Armenia tinggal di republik tetangga mereka Azerbaijan dan sebaliknya. Perbedaan agama antara Armenia yang mayoritas Kristen Ortodoks dan Azerbaijan yang didominasi Muslim Syiah juga bukan sebuah masalah berarti. Tapi permasalahan antara kedua negara menegang dan pecah ketika Uni Soviet bubar. Dan dapat kita saksikan hingga hari ini, wilayah sengketa ini terus menjadi pusat konflik berkepanjangan antara Azerbaijan dan Armenia hingga hari ini.

Berdasarkan konflik ini, lantas kita bertanya mengapa sengketa seperti ini muncul secara berkelanjutan hingga hari ini? Kebanyakan analisis memang telah menjelaskan bahwa konflik ini adalah soal konflik identitas. Konflik ini adalah soal enclave yang telah mencoba mendeklarasikan independensinya karena konflik identitas yang tak terselesaikan. Secara umum tulisan ini setuju dengan argumen tersebut, namun tulisan ini juga mencoba melihatnya melalui kacamata lain. Tulisan ini jutru mencoba hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti mengapa secara geografis, wilayah persinggungan antara Asia dan Eropa (Eurasia) selalu diselimuti konflik berkepanjangan? Apakah konflik antara Armenia-Azerbaijan merupakan implikasi dari struktur geopolitik yang sarat akan konflik di Eurasia? Nah, tulisan singkat ini mencoba menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini.

Eurasia: The Grand Chessboard

Membicarakan dinamika politik di daratan Eurasia memang sangat menarik. Beberapa sumber juga dapat kita temukan dengan mudah untuk dapat memperluas khazanah kita tentang wilayah geografis ini. Namun, berhubung tulisan ini tidak diniatkan menjadi tulisan ilmiah (banyak menggunakan ingatan), maka maaf saya menulis artikel ini secara bebas tanpa menyantumkan sumber sitasi ilmiah.

Baik, mungkin kita dapat memulai tulisan ini dengan mendefinisikan Eurasia. Seorang ahli Eurasia bernama Anıl Çeçen mendefiniskan Eurasia dengan dua perspektif. Menurutnya, secara umum “Eurasia” dapat diartikan sebagai gabungan seluruh benua Eropa dan Asia yang menjadi daratan geografis utama dunia. Secara sempit atau khusus, Eurasia dapat dipahami sebagai wilayah geografis dimana dua benua yakni Eropa dan Asia bertemu. Jika dilihat ke peta akan kita temukan wilayah ini membentang mencakupi wilayah Eropa Timur, Balkan, Laut Hitam, Kaukasus, Anatolia, hingga Asia Tengah. Berdasarkan peta geografis ini, Eurasia mencakupi wilayah daratan yang cukup luas dan kompleks baik dari sisi geografis maupun politis. Eurasia juga menjadi rumah bagi banyak negara dan peradaban untuk saling berbagi sejarahnya. Sehingga, ketika membicarakan Eurasia kita akan menemukan khazanah peradaban yang cukup luas yang menjadikan wilayah (benua) ini cukup penting untuk dipelajari.

Di Eurasia kita akan dapat dengan mudah menemukan dialektika sejarah yang kompleks. Sejarah ini cukup penting untuk dipelajari karena pada akhirnya sejarah ini ikut mempengaruhi dinamika atau peta politik dunia dewasa ini. Terkait kompleksitas Eurasia, dalam memahaminya menuntut kita untuk membahas struktur geopolitik wilayah ini. Dengan memahami geopolitik Eurasia, kita akan dapat memahami berbagai aspek turunan lainnya seperti politik, ekonomi, atau budaya dari berbagai negara di Eurasia. Dengan memahami geopolitik pula kita akan dapat memahami titik sentral eksistensi Eurasia bagi dinamika politik global. Dalam buku-buku geopolitik, nama Eurasia sering disebut sebagai “Heartland”, yakni istilah yang merujuk Eurasia sebagai pusat dunia. Istilah Eurasia sebagai pusat dunia memang tidak berlebihan, bahkan dalam sebuah pendapat dinyatakan bahwa “Who rules East Europe commands the Heartland; who rules the Heartland commands the World-Island; who rules the World-Island commands the world”.

Pernyataan ini menegaskan bahwa secara geopolitik Eurasia memiliki peran penting dalam percaturan dunia. Pernyataan ini memang masuk akal mengingat Eurasia secara geopolitik merupakan pusat dimana negara-negara yang paling ambisius, progresif, dan dinamis berada. Bahkan, setelah Amerika Serikat enam negara ekonomi terbesar dan enam negara pembeli senjata terbesar berada di Eurasia. Wilayah regional terpadat di dunia juga berada di Eurasia. Semua kekuatan nuklir dunia baik yang secara resmi diketahui maupun yang tidak diketahui juga berada di daratan Eurasia (seperti di Iran, Pakistan, India, Cina dll). Oleh sebab itu tidak mengherankan ketika seorang Brezezinski, yang pernah menjadi penasihat Keamanan Nasional di AS, menyamakan Eurasia dengan sebuah papan catur (The Grand Chessboard). Di daratan inilah perjuangan politik, segala strategi geopolitik maupun geostrategi diaplikasikan oleh masing-masing negara. Di luar politik, secara ekonomi Eurasia juga menjadi medan pertarungan untuk dapat mengendalikan dua per tiga wilayah paling maju dan produktif secara ekonomi di dunia. Eurasia bahkan menguasai 60% GNP dunia dan di wilayah inilah tiga perempat dari sumber energi yang dikenal di dunia berada. Pada akhirnya, tokoh sejarah sekaliber Adolf Hitler dan Joseph Stalin pada akhirnya juga ikut mengamini pentingnya Eurasia secara geopolitik. Mereka bahkan mengasumsikan bahwa Eurasia adalah pusat dunia dan meyakini bahwa siapa yang mengendalikan Eurasia akan mengendalikan dunia.

Konflik yang Niscaya

Dengan memahami sentralitas Eurasia secara geopolitik, maka tidak mengherankan ketika dua perang dunia justru berpusat di daratan ini. Peperangan dunia terus muncul akibat adanya usaha dari masing-masing negara untuk merebut peta kuasa atas kekayaan sumberdaya yang ada di wilayah ini (sumberdaya dapat dimaknai secara luas tidak hanya yang berupa sumberdaya materiil). Apakah peperangan ini akan berakhir? Pastinya tidak ada yang secara pasti dapat menjawab. Hanya saja, dapat dikatakan bahwa Eurasia akan selalu memiliki posisi kunci dalam menentukan siapa yang akan mendominasi dunia. Yakni, Eurasia akan selalu menjadi arena utama dimana peta masa depan dunia akan dibentuk. Karena itu, tidak heran jika setiap negara baik secara regional maupun global (seperti Amerika) selalu memiliki rencana jangka panjang untuk dapat meraup untung di daratan Eurasia. Tidak mengherankan pula ketika kita temukan berbagai konflik terus muncul untuk dapat menguasai berbagai sumberdaya yang ada di wilayah ini. Konflik akan terus muncul dengan melibatkan berbagai negara seperti Rusia, Turki, Cina, India, Pakistan, Perancis, hingga Amerika dan lainnya. Secara singkat, dapat dikatakan konflik menjadi keniscayaan di daratan ini.

Syahdan, kembali kepada konflik antara Armenia dan Azerbaijan, pada dasarnya konflik ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan untuk menguasai daratan Eurasia, setidaknya secara parsial atau skala yang kecil. Konflik ini adalah soal usaha menjamin penguasaan secara geopolitik untuk pentingan politik dan ekonomi. Untuk menjelaskan statemen ini, saya coba elaborasi melalui poin-poin berikut:

Pertama, peperangan ini terkait dengan kepentingan Azerbaijan dalam melindungi pusat infastruktur energi yang dianggap akan menjadi target kepentingan Armenia. Sehingga secara kasar dapat dikatakan bahwa konflik ini tak lepas dari kepentingan negara terhadap sumberdaya di Eurasia. Mungkin ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa validitas terkait eksistensi sumberdaya energi ini rendah, namun setidaknya perlu dipahami bahwa wilayah sengketa ini memiliki jangkauan geografis yang memadai terhadap keselamatan atau keberlanjutan infrastruktur-infrastruktur penting antar negara. Oleh karenanya, usaha melindungi sumberdaya negara menjadi urusan penting dalam konteks geopolitik antar negara. Salah satu usahanya adalah menguasai sepenuhnya wilayah konflik ini.

Kedua, Eurasia merupakan pusat dari kegiatan ekonomi dunia. Oleh sebab itu, menjaga kedaulatan wilayah secara geopolitik menjadi penting sebagai usaha menguasai lalu lintas kegiatan ekonomi yang ada. Daerah konflik Nagorno-Karabakh pada dasarnya juga dapat dilihat berdasarkan perspektif ini. Berada dalam lalu lintas perekonomian dunia, maka pada dasarnya baik Azerbaijan dan Armenia tidak bisa begitu saja kehilangan sejengkal tanah untuk kepentingan ekonomi politiknya. Penguasaan terhadap Nagorno-Karabakh menjadi niscaya guna dapat memanfaatkan ruang demi akselerasi kegiatan ekonomi. Oleh sebab itu, meski konflik ini awalnya didominasi oleh pergesekan identitas, tapi kepentingan ekonomi politik akan kita temukan dalam lapisan konflik paling dalam. Dalam konteks ini, berada di Eurasia, Nagorno-Karabakh penting untuk dapat dikuasai baik secara de facto dan de jure.

Ketiga, kita menyaksikan beberapa negara tetangga Azerbaijan-Armenia juga terlibat dalam konflik ini. Secara singkat, keterlibatan negara-negara ini pada dasarnya juga menjadi bagian dari usaha penguasaan Eurasia. Sebagai contohnya, kita bisa lihat keterlibatan Turki dan Rusia. Jika kita membaca dinamika Eurasia, maka kita akan menemukan pentingnya dua negara ini (Turki-Rusia) dalam peta geopolitik Eurasia. Nah, dalam konteks konflik ini Turki membela Azerbaijan tidak terlepas dari relasi politik ekonomi yang sudah terbangun baik antara keduanya secara regional. Turki juga membutuhkan Azerbaijan sebagai sekutu untuk memperkuat barisan dalam proses penguasaan Eurasia. Azerbaijan dan beberapa negara Asia Tengah memang pada dasarnya menjadi bagian penting bagi Turki dalam proses penguatan soft power regional selama ini. Rusia pun tidak tinggal diam dalam konflik ini mengingat Armenia juga merupakan partnernya dalam The Eurasian Economic Union (EAEU). Rusia dengan berbagai kebijakan luar negerinya memang telah lama mencoba membangun kembali hegemoninya atas wilayah Eurasia. Oleh sebab itu, kehadirannya dalam sengketa Nagorno-Karabakh bukan satu hal aneh. Nah, munculnya negara seperti Iran atau bahkan Amerika di dalam konflik ini juga pada dasarnya tidak terlepas dari kepentingan dari masing-masing negara untuk dapat menyelamatkan kepentingannya baik dari sisi politik atau ekonomi di daratan Eurasia.

Oleh sebab itu, sebagai akhiran, selain terkait konflik identitas, konflik di Nagorno-Karabakh ini juga sangat terkait dengan kepentingan ekonomi politik masing-masing negara di daratan Eurasia. Pertarungan antara negara-negara ini pada akhirnya secara logis dapat dipandang sebagai usaha dalam proses penguasaan Eurasia, baik dalam skala kecil maupun besar.

Sebagai penutup khutbah, sedikit menyentuh ranah moralis, bagi saya konflik semacam ini pada akhirnya menjadi akibat logis dari tabiat manusia yang memang tak terlepas dari rasa ingin kuasa menguasai. Konflik seperti Armenia-Azerbaijan dapat muncul dimana saja selama sumberdaya yang diperebutkan masih eksis, dan selama makhluk bernama manusia masih tetap eksis. Berdasarkan konflik ini, dalam kondisi rentan seperti di pandemik ini, dapat kita saksikan bagaimana kita sebagai manusia memang menjadi spesies yang pelupa dan tidak pernah belajar dari kesalahan.

*Zbigniew Brzezinski menulis karya bagus berjudul The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives. Buku ini dapat jadi sumber bagus untuk mempelajari geopolitik Eurasia.

--

--