Konflik Wadas: Refleksi Pembangunan Indonesia

Faiz Kasyfilham
3 min readApr 28, 2021

--

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2020 telah terjadi 241 kasus konflik agraria di Indonesia. Total kasus tersebut terjadi di 359 kampung/desa dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK). Tingginya angka ini memang bukan hal baru mengingat Konflik Agraria telah menjadi bagian dari sejarah panjang pembangunan di Indonesia. Baru-baru ini konflik serupa muncul di daerah Purworejo ketika warga Wadas menolak adanya rencana pertambangan batuan andesit di daerah mereka. Terlepas dari latarbelakang penolakan warga, krisis dan konflik agraria ini memberikan kita dua pelajaran penting dalam memahami logika pembangunan di Indonesia.

Pertama, dinamika pembangunan Indonesia masih didominasi oleh logika yang menekankan urgensi depolitisasi rakyat. Depolitisasi dapat dimaknai sebagai sebuah kecenderungan dari rezim untuk mencerabut rakyat dari hak politiknya sebagai warga negara. Adanya sistem politik yang monolitik dan eksklusif menyebabkan rakyat tidak memiliki kekuatan dalam merumuskan dan menyalurkan kepentingan politiknya (Fauzi 1999). Di dalam konteks ini, pembangunan selalu dibayangkan sebagai kegiatan ekonomi politik yang sentralistik, homogen, dan tidak membutuhkan adanya partisipasi rakyat. Melalui depolitisasi, rakyat akan terus tereksklusi dari kekuatan politik.

Proses depolitisasi ini membahayakan karena pemerintah seringkali menggunakan pendekatan represif dalam menyikapi tuntutan rakyat yang berseberangan dengan logika pembangunan rezim. Melalui pendekatan represif ini pemerintah terus mendepolitisasi rakyat dengan menciptakan nuansa ketakutan di tengah rakyatnya. Keadaan ini sudah jamak dirasakan rakyat pada era Orde Baru ketika rezim hadir di tengah rakyatnya dengan pendekatan kekerasan dan sederet tuduhun (seperti PKI, subversif, anti-pembangunan dan lain sebagainya) yang bertujuan untuk merentang jarak atas keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan. Pendekatan nir-keadilan ini sayangnya masih terus mendominasi logika rezim dewasa ini. Sehingga, melalui proses depolitisasi ini pada akhirnya rakyat selalu dibayangkan sebagai aktor bisu yang dituntut patuh atas logika pembangunan rezim.

Kedua, pembangunan dilaksanakan sembari memperkuat hegemoni rezim atas rakyat. Hegemoni dapat dipahami sebagai usaha untuk menciptakan realitas yang terlihat objektif, natural, dan nir kepentingan. Dalam konteksi ini hegemoni dibentuk oleh rezim dengan tujuan terbentuknya sebuah konsensus yang disetujui oleh setiap elemen rakyat. Hegemonisasi atas kesadaran rakyat ini dilakukan dengan membentuk sebuah definisi pembangunan yang dibayangkan dapat mengakomodasi setiap kepentingan rakyat dan berkeadilan. Proses hegemonisasi ini pastinya berperan penting dalam proses depolitisasi di atas. Yakni, selain memainkan pendekatan fisik represif, rezim mencoba menghegemoni rakyat dengan menguasai diskursus atas makna pembangunan dan atas tipikal pembangunan yang selayaknya diterapkan untuk menciptakan kesejahteraan.

Hegemonisasi yang dilakukan pemerintah dalam proses pembangunan dapat dilihat dengan semakin massifnya pendekatan teknokratisme dan proseduralisme. Pembangunan dengan pendekatan ini membayangkan adanya sebuah mekanisme filter atas makna pembangunan dengan “rasionalisme” sebagai standar. Benteng rasionalisme di dalam pembangunan seringkali mengeliminasi segala pendekatan pembangunan yang dituduh tidak rasional. Hanya pendekatan yang lolos seleksi teknokratis dan proseduralis saja yang dapat dianggap rasional dan dapat diaplikasikan. Pada akhirnya pendekatan ini menyumbat aspirasi rakyat dalam proses pembangunan. Pembangunan a la rakyat seringkali dibuang hanya karena dianggap tidak rasional dan tidak lolos uji berdasarkan pendekatan teknokratisme dan proseduralisme. Dinamika pembangunan pada akhirnya menjadi sangat kering dan bias kepentingan elit. Selain itu, pembangunan baik dari sisi definitif maupun praktis pada akhirnya terus terhegemoni oleh rezim dan terus menggerus andil rakyat.

Adanya tendensi pembangunan dengan mengandalkan depolitisasi dan hegemonisasi atas rakyat pastinya perlu diubah. Jika pendekatan ini terus digunakan, maka rakyat akan terus dianggap sebagai aktor irrasional yang tidak dapat memaknai pembangunan dan hadirnya tidak dikehendaki selain sebagai aktor yang pasif. Jika pendekatan ini terus digunakan, maka tidak mustahil konflik akan terus muncul karena rakyat sejatinya tidak akan pernah berhenti memaknai pembangunan yang secara langsung berdampak bagi kehidupannya. Jika konflik-konflik agraria seperti di Wadas mau diselesaikan secara massif di Indonesia, tidak ada cara lain bagi rezim selain membuka mata hatinya untuk mendengar suara rakyatnya. Rakyat perlu dimaknai kembali sebagai manusia sempurna yang rasional dan keterlibatannya penting dalam proses pembangunan.

Sumber:

Fauzi, Noer. 1999. Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST.

KPA. 2020. Catatan Akhir Tahun 2020. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria.

--

--